Sebagai kantor hukum, advokat
dan/atau pengacara pada umumnya, kantor hukum Agus Albert TPM & PARTNERS
juga melayani penanganan kasu hukum atau perkara-perkara pidana pada umumnya.
Dalam penanganan kasus yang diduga ada tindak pidana, sebelum perkara tersebut
dilaporkan ke Kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, kami biasanya akan
mengusahakan penanganan secara nonlitigasi (proses penyelesaian perkara
diluar jalur peradilan), utnuk itu diharapkan KETERBUKAN INFORMASI dari Klien
Kami.
Memberikan bantuan hukum merupakan salah satu jasa hukum yang diberikan oleh advokat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan Pelaksanaanya sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 1 Tahun 2014 (https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_nomor_01_tahun_2014.pdf ) , -MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIADIREKTUR JENDERALBADAN PERADILAN UMUMKEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BADAN PERADILAN UMUMNomor : 52/DJU/SK/HK.006/5/Tahun2014TENTANGPETUNJUK PELAKSANAANPERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1 TAHUN 2014TENTANGPEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUMBAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN (https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/Petunjuk_Pelaksanaan_Peraturan_Mahkamah_Agung_RI_Nomor_1_Tahun_2014.pdf )
EFEKTIVITAS PIDANA DENDA DALAM PERKARA NARKOTIKA
Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
Profesi Likuidator dalam Likuidasi
Advokat A2TP n Patners dapat melayani pemberakasan badan hukum yang ingin dilakukan likuidasi dengan mengedapankan efektivitas dan profesionalitas, kurator dan Likuidator yang merupakan anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia. Banyaknya perusahaan yang sudah tidak beraktivitas atau telah berakhirnya pendirian perusahaan berdasarkan akta pendirian perusahaan yang telah menentukan waktu berakhirnya perusahaan, atau para pemenang saham bersepakat untuk melakukan likuidasi, maka perlu adanya pemberasan likuidasi yang dilakukan oleh Likuidator.
Bahwa dalam mekanisme kerja seorang likuidator hampir sama tata caranya dengan Kurator, yang membedakan hanyalah likuidator melakukan proses pemberesan hingga badan hukum tersebut telah bubar/tutup selamanya dan tidak lagi dalam catatan kementerian hukum dan ham serta kantor pajak.
Pentingnya badan hukum perusahaan yang sudah tidak beroperasi dilakukan likuidasi. Dimana petugas pajak karena dalam catatan banyak perusahaan yang berposisi dapat diistilahkan hidup segan mati tak mau, artinya ada perusahaa tidak beroperasional tapi perusahaan tersebut tidak dilikuidasi oleh para pemegang sahamnya.
" Pengadilan Niaga solusi sengketa utang piutang "
Pada saat terjadi wanprestasi terhadap perjanjian utang piutang, sekarang ini para kreditur lebih memilih penyelesaian melalui Pengadilan Niaga
Secara limitatip UU Kepailitan dalam Pasal 1 angka 6 memberikan definisi utang yaitu:
"... Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor."
Lalu bagaimana cara mengajukan ke pengadilan Niaga, maka Kreditor yang akan mengajukan permohonan Kepailitan dapat mengajukan ke Pengadilan Niaga dan wajib menunjuk seorang advokat dalam pengajuan permohonan tersebut. Adapun Permohonan dapat diterima harus memenuhi persyaratan diataranya :
1. Harus adanya minimal 2(dua) Kreditor atau lebih
2. Utang telah Jatuh tempo dan dapat ditagih
3. Pembuktian sederhana
Sementara untuk perkara PKPU, apabila diajukan oleh debitor maka dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan atau 20 hari dalam hal diajukan oleh kreditor, Pengadilan Niaga mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus untuk bersama sama dengan debitor mengurus harta debitor. Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk menetapkan atau menolak permohonan PKPU tetap berdasarkan persetujuan kreditor konkuren.
Sebagai manusia yang memiliki jiwa
sosial, tentunya kita tidak ingin bermasalah dengan siapa dan apa pun.
Harapannya, kita bisa selalu hidup tenteram tanpa masalah dengan orang lain. Bagi yang benar-benar “awam” dalam
hukum, proses hukum mungkin hanya sebatas pelaporan ke pihak berwajib,
pemanggilan oleh pihak berwajib, proses pengadilan, lalu dijatuhkan hukuman.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Laporan/pengaduan/tertangkap tangan
Setiap orang yang mengalami/melihat/menyaksikan/menjadi korban peristiwa tindak pidana bisa melaporkan atau membuat pengaduan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum.
Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
Penyidikan
Setelah menerima laporan, pejabat polisi Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi dan dimaksudkan untuk mencari tersangka dari tindak pidana tersebut.
Penangkapan
Untuk kepentingan penyidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, jika menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Penggeledahan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau pakaian atau badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Surat penggeledahan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat.
Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Bantuan hukum
Guna kepentingan pembelaan, seorang tersangka atau terdakwa berhak menerima bantuan hukum, walaupun dia benar sebagai pelaku tindak pidana.
Prapenuntutan dan penuntutan
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa atau diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Praperadilan
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sidang ini hanya dipimpin oleh seorang hakim. Jika pada tahap praperadilan tersangka dinyatakan tidak bersalah, tuntutan akan batal demi hukum. Namun, jika praperadilan hanya memutuskan sesuai atau tidaknya tahap penangkapan dan penahanan, kasus akan tetap diproses.
Sidang pengadilan
Setelah pelimpahan dokumen oleh jaksa penuntut umum, perkara akan masuk ke tahap sidang pengadilan. Mengadili berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Selama proses peradilan, terdakwa masih dianggap tidak bersalah (presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah) hingga jatuh putusan pengadilan.
Bagi Anda yang sedang mengalami atau
terkena kasus pidana seperti tersebut diatas, baik sebagai saksi, korban
ataupun Tersangka, silahkan hubungi kami untuk mendapatkan bantuan/jasa hukum
dari kantor kami.
Hukum pidana merupakan wilayah di
mana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan warga negara lain. Hukum pidana Indonesia tunduk
pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam proses hukum pidana, terdapat
prosedur atau hukum acara yang saat ini diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk lebih memahaminya,
simak upaya hukum biasa untuk kasus pidana umum berikut ini.
Laporan/pengaduan/tertangkap tangan
Setiap orang yang mengalami/melihat/menyaksikan/menjadi korban peristiwa tindak pidana bisa melaporkan atau membuat pengaduan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum.
Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
Penyidikan
Setelah menerima laporan, pejabat polisi Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi dan dimaksudkan untuk mencari tersangka dari tindak pidana tersebut.
Penangkapan
Untuk kepentingan penyidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, jika menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Penggeledahan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau pakaian atau badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Surat penggeledahan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat.
Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Bantuan hukum
Guna kepentingan pembelaan, seorang tersangka atau terdakwa berhak menerima bantuan hukum, walaupun dia benar sebagai pelaku tindak pidana.
Prapenuntutan dan penuntutan
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa atau diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Praperadilan
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sidang ini hanya dipimpin oleh seorang hakim. Jika pada tahap praperadilan tersangka dinyatakan tidak bersalah, tuntutan akan batal demi hukum. Namun, jika praperadilan hanya memutuskan sesuai atau tidaknya tahap penangkapan dan penahanan, kasus akan tetap diproses.
Sidang pengadilan
Setelah pelimpahan dokumen oleh jaksa penuntut umum, perkara akan masuk ke tahap sidang pengadilan. Mengadili berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Selama proses peradilan, terdakwa masih dianggap tidak bersalah (presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah) hingga jatuh putusan pengadilan.
Layanan Jasa Hukum Kami
- Perkara Pidana KHUSUS
- Perkara Pidana UMUM
- Tata Usaha Negara
- Perkawinan & Perceraian
- Kasus Pertanahan
- Hukum Keluarga & Waris
- Hukum Perjanjian
- Kasus Bisnis & Perusahaan
Memberikan bantuan hukum merupakan salah satu jasa hukum yang diberikan oleh advokat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).
Pasal 1 angka 2 UU Advokat:
“Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien.”
Pasal 1 angka 1 UU Advokat:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.”
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Latar Belakang
Pertimbangan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah:
- bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;
- bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan;
- bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum;
Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan Pelaksanaanya sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 1 Tahun 2014 (https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_nomor_01_tahun_2014.pdf ) , -MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIADIREKTUR JENDERALBADAN PERADILAN UMUMKEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BADAN PERADILAN UMUMNomor : 52/DJU/SK/HK.006/5/Tahun2014TENTANGPETUNJUK PELAKSANAANPERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1 TAHUN 2014TENTANGPEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUMBAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN (https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/Petunjuk_Pelaksanaan_Peraturan_Mahkamah_Agung_RI_Nomor_1_Tahun_2014.pdf )
Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan
Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan
hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal
14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1)
kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab
negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi
setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian
Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus
sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin
hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to
justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara
memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi
dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau
kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan
hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui
pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh
orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses
keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak
konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam
Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau
kelompok orang miskin.
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai:
pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak
dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan
Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana.
Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan
Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan
hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal
14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1)
kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab
negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi
setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian
Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus
sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin
hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to
justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara
memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi
dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau
kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan
hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui
pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh
orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses
keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak
konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam
Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau
kelompok orang miskin.
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai:
pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak
dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan
Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana.
EFEKTIVITAS PIDANA DENDA DALAM PERKARA NARKOTIKA
Oleh : Mas Hushendar,
S.H., M.H.Wakil Ketua
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
Menurut
pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika “Putusan pidana
denda tidak dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika dijatuhi pidana penjara paling selama 2 (dua) tahun sebagai
pengganti pidana denda. ”Ketentuan ini tidak diatur lebih lanjut mengenai
perhitungan lamanya pidana penjara dengan besarnya pidana denda yang dijatuhkan
Hakim. Tidak adanya pedoman dalam menentukan berat ringannya pidana penjara sebagai
pengganti pidana denda ini, maka dalam praktek pengadilan Hakim menetapkan
lamanya pidana penjara bervariasi. Bandingkan dengan KUH Pidana secara detil
memberikan ukuran sebagai pedoman bagi Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam
menetapkan pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.Pidana kurungan
pengganti paling sedikit 1 (satu) hari dan paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
untuk tindak pidana perbarengan, pengulangan atau ketentuan pasal 52 pidana
kurungan pengganti paling lama 8 (delapan) bulan. Adapun pidana denda paling
sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Ditentukan untuk pidana denda tujuh
rupiah lima puluh dua sen demikian sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima
puluh dua sen,dihitung paling banyak 1 (satu) hari (Pasal 30 KUH Pidana).Pengaturan
ini begitu gamblang sehingga memudahkan untuk melakukan penghitungan bagi siapa
pun dan terhindar disparitas penjatuhan hukuman pidana kurungan sebagai
pengganti pidana denda. Berbeda dengan Undang-undang Narkotika tidak memberikan
patokanuntukmenetapkan pidana penjara (bukan pidana kurungan) sebagai pidana
pengganti denda. Akibatnya antara putusan satu dengan putusan lainterhadap
pelanggaran pasal yang samasaling berbeda pidana penjara pengganti denda yang
dijatuhkan. Misal pidana denda ditetapkan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar),
namun pidana penjara pengganti dendanya ditetapkan 1 (satu) bulan, (3) bulan
atau 6 (enam) bulan. Pertimbangan Majelis Hakim ada yang didasarkan karena
tuntutan Penuntut Umum terlalu tingggi sehingga pidana penjara sebagai
pengganti dendanya dikurangi menjadi setengahnya. Terdapat pula Majelis Hakim
menjatuhkan “Pidana Kurungan sebagai pengganti Pidana Denda”, seperti dalam
putusan Nomor : 344/Pid.Sus/2019/PN.Tar tanggal 24 Maret 2020 “Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) Tahun
dan Pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) dan apabila
denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1
(satu) Tahun.Terdapat putusan terdakwa terbukti pasal 112 ayat (1)
Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pidana denda yang
dijatuhkan sejumlah Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) sesuai tuntutan
Penuntut Umum (Pasal 114 ayat (1), seharusnya sejumlah Rp.
800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah).Ini akibat kekurang telitian Majelis
Hakim dalam menerapkan besarnya pidana denda antara satu pasal dengan pasal
lain berbeda.Dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti
pidana denda berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan
(Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010). Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak mengatur
jenis pidana subsidair sebagai pengganti pidana denda, dalam praktek mengacu
kepada KUH Pidana berupa “Pidana Kurungan”.Lain halnya dalam perkara anak sebagai
pengganti pidana denda adalah “Pelatihan Kerja”(Pasal 71 ayat (3) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.Namun dalam praktek
pengadilan terdapat yang menerapkan “Pidana Kurungan”sebagai pengganti Pidana
Denda.Untuk mengatasi disparitas putusan seperti ini, paling tidak dalam suatu
wilayah pengadilan negeri menetapkan berdasarkan kesepakatan para hakim dan
pimpinan
3 pengadilan
dengan menyusun kriteria dalam menjatuhkan lamanya pidana penjara sebagai
pengganti pidana denda untuk terendah, menengah dan tertinggi. Tidak menutup
kemungkinan selanjutnya dikembangkan untuk suatu wilayah Pengadilan
Tinggi.Sekalipun Undang-undang Narkotika tidak mengenal pidana kurungan sebagai
pengganti pidana denda, namun menganut pula jenis pidana pokok berupa “pidana
kurungan”sebagai alternatif untuk dijatuhkan pidana denda.Selain itu terdapat
ketidak konsistenan pengaturan untuk padanan pidana kurungan dengan pidana
denda. Terhadap orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang
sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), sedangkan
keluarga dari pecandu narkotika yang sudah cukup umur sengaja tidak melapor,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pengaturan hukuman ini sama-sama
untuk orang tua, wali atau keluarga. Apabila hendak dilihat dari disatu sisi
pecandu belum cukup umur dan di sisi lain pecandu sudah cukup umur sehingga
hukumannya lebih ringan (pidana kurungan 3 (tiga) bulan), semestinya pidana
dendanya setengahnya pula sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Demikian
pula bagi pecandu narkotika cukup umur dan sengaja tidak melapor diri, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)(Pasal 128 ayat (1) dan pasal 134).Keadaan
demikian menujukan padanan lamanya pidana kurungan dengan pidana denda pasal
satu dengan pasal lain berbeda.Untuk lamanya pidana kurungan yang sama terhadap
tindak pidana narkotikatetapi pidana dendanya berbeda.Pada umumnya pidana
dendasebagai alternatifdan pidana dendasebagai kumulatif dari pidana pokok yang
ditentukan dalam Undang-undang narkotika cukup tinggi sehingga terpidana tidak
mampu untuk membayar sejumlah uang sebagai pidana denda kepada Negara. Bagi
terpidana yang memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda sebagai gembong
narkotika (penyalur besar), uangnya lebih baik digunakan sebagai modal untuk
mengendalikan jual beli narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dari pada
membayar pidana denda. Selama ini Pengadilan Negeri tidak memiliki data tentang
pelaksanaan putusan pidana denda perkara narkotika. Sesuai pasal 278 KUHAP
Pengadilan Negeri sesungguhnya mudah untuk memantau pelaksanaan putusan pidana
denda dalam perkara narkotika, apabila setiap pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa
Penuntut Umum dilaporkan kepada Pengadilan Negeri, namun kenyataannya tidak
demikian.Sebagai panduan kapan pidana denda dilaksanakan, menurut pasal
273 ayat (1) dan (2) KUHAP terpidana diberikan waktu satu bulan dan
dapat diperpanjang paling lama satu bulan apabila terdapat alasan kuat, kecuali
putusan acara pemeriksaan cepat harus seketika dilunasi.Sebaliknya untuk
perkara lain bahwa pidana pengganti denda berupa pidana kurungan dapat
dilaksanakan segera dengan tidak menunggu batas waktu pembayaran denda (Pasal
31 ayat (1) KUH Pidana).Dalam putusan perkara narkotika tidak memuat tentang
waktu pelaksanaan pembayaran pidana dendasehingga pasal 273 ayat (1) dan (2)
KUHAP ini diterapkan pada saat pelaksanaan putusan. Pembatasan waktu
berakhirnya pembayaran pidana denda ini berlaku untuk terdakwa pelaku tindak
pidana narkotika yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan
hukum pasti (in kracht van gewijsde). Batas waktu pelaksanaan putusan
pidana denda paling lama 2 (dua) bulan, terhitung sejak terpidana melaksanakan
putusan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP).
Apabila dalam jangka waktu ini terpidana belum melaksanakan pembayaran pidana
denda, maka secara yuridis terpidana menjalani lamanya pidana penjara sebagai
pengganti pidana denda sesuai yang dinyatakan dalam amar putusan. Berdasarkan
pengamatan pidana denda dalam putusan perkara narkotika sejauh ini dinilaibelum
memenuhi tujuan pemidanaan karena pidana denda yang jumlahnya besar tersebut
tidak dilaksanakan oleh terpidana, demikian halnya seperti dalam perkara
korupsi sekali pun pelaksana pembayar denda dapat dilakukan oleh orang lain
untuk seluruhnya atau sebagian dari jumlah pidana denda tersebut. Akibatnya efek
jera bagi terpidana diharapkan membayar pidana denda tidak tercapai dengan terpidana
lebih memilih pidana penjaranya. Untuk gambaran pada Lapas Narkotika Kelas II.A
Samarinda tidak seorang pun terpidana yang membayar pidana denda tetapi
semuanya menjalani pidana penjara pengganti denda. Ini sesuai Rekapitulasi
Warga Binaan Lapas Narkotika Kelas II.A Samarinda yang menjalani pidana penjara
pengganti denda (Register B III Subsider) Tahun 2020 : Januari 15, Februari 36,
Maret 17, April 68, dan Mei 23 sehingga total sebanyak 159. Penyebab lainnya
karena tidak terdapat pasal yang mengatur “Tindakan Paksaan atau Daya Paksa”
terhadap terpidana yang tidak dapatatau bersediamembayar pidana denda
sebelumakhir batas waktu yang ditetapkan. Tidak sebagaimana pelaku tindak
pidana korupsi yang tidak bersedia membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu)
bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Padahal apabila pidana denda
tersebut dibayar oleh terpidana,maka uang tersebut menjadi PNBP yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastrukur. Kontradiksi
dengan perkara tilang terpidana lebih memilih membayar pidana denda dari pada
pidana kurungan penggantinya. Untuk diperhatikan agar pidana denda terlaksana
efektifmesti terdapat keseimbangan antara besarnya pidana denda dengan lamanya
pidana penjara pengganti,khususnya kemampuan terpidanadapat membayar denda yang
telah ditetapkan.Realistis besarnya pidana denda yang dijatuhkan dalam putusan
sesuai kemampuan ekonomi dan status sosial terdakwa. Lain halnya dengan perkara
narkotika, Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan seperti ini karena
undang-undang telah memberikan batasan minimal atau paling sedikit besarnya
pidana denda yang nota bene jumlahnya cukup tinggi.Batas minimal pidana denda
terendah dalam Undang-undang ini paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat
puluhjuta rupiah), sedangkan pidana denda tertinggi paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah). Untuk tindak pidana narkotika
tertentu pelaku dikenakan hukuman “pidana denda maksimum ditambah 1/3
(sepertiga), seperti : Penyalahgunaan narkotika yang beratnya melebihi 5 (lima)
gram (Pasal 133 ayat (1), pasal 114 ayat (2) dan pasal 118 ayat (2))”. Adanya
pembatasan pidana minimal seperti ini, sebagaimana aliran legisme Hakim
didorong sebagai “Corong Undang-undang”untuk terpaku menjatuhkan besarnya
pidana denda minimal yang telah ditentukan, sekalipun berdasarkan hasil
pemeriksaan danperasaan keadilan Hakim sesuai kemampuan terdakwa selayaknya
dijatuhi
pidana denda yang jumlahnya lebih kecil. Menjadi pertanyaan apa yang melandasi
pemikiran pembuat undang-undang menentukan pidana denda dengan batas minimal
sangat tinggi, tidak mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi pelaku tindak
pidana narkotika yang umumnya masyarakat kelas bawah. Pengecualian dalam
perkara narkotikat ertentu yaitu : pelaku tidak melaporkan penyalahgunaan
narkotika dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
sehingga memberikan kewenangan kepada Hakim untuk menjatuhkan besarnya pidana
denda sesuai nurani keadilannya. Sebaliknya terhadap pelaku tindak pidana
narkotika yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup dibebaskan dari tambahan
pidana denda. . Penutup Dengan tidak terciptanya tujuan pemidanaan berupa
pidana denda dalam perkara narkotika, sebagai pemecahannya undang-undang
narkotika tidak mengatur batas bawah atau paling sedikit besarnya pidana denda,
melainkan cukup mengatur batas atas atau pidana denda paling banyak sehingga
Hakim lebih leluasa dalam menjatuhkan besarnya pidana denda terhadap terdakwa
sesuai apa yang terungkap dalam persidangan.Tentu memperhatikan keseimbangan
dengan pidana penjara pengganti denda yang dijatuhkan.Sebaliknya untuk
memberikan perasaan jera terhadap terdakwa Hakim lebih mempertinggi lamanya
pidana penjara terhadap terdakwa dalam hukuman pokoknya.Dengan demikian ke
depan diharapkan lebih efektif penjatuhan pidana denda karena selain terpidana
mampu untuk membayar besarnya denda sesuai putusan tersebut, dari sudut pandang
lain pidana denda menguntungkan terpidana karena tidak membuat tercela
pribadinya, cepat dan lebih praktis pelaksanaannya serta tidak merendahkan
martabat manusia, selain mengatasi kelebihan penghuni Lapas yang menyedot
anggaran keuangan Negara. Apalagi pada masa penyebaran “Covid 19”sehingga
terpidana yang belum selesai menjalani hukuman sebayak 30.000 Narapidana dan
Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid 19. Selama Undang-undang
Narkotika ini belum dilakukan perubahan dan berbagai Undang-undang lainnya pun
mengatur pidana denda yang tidak efektif dalam penerapannya, maka kehadiran
terobosan penegakan hukum tidak hanya legalistik menganut aliran positivisme
hukum, melainkan mempertimbangkan pula nilai-nilai keadilan dan kebenaran
secara bijaksana berupa penegakan hukum progresif sehingga penegakan hukum
dirasakan lebih bermanfaat. Pada setiap Undang-undang yang mengatur pidana
denda sudah semestinya mengatur pasal subsidair berupa pidana pengganti denda karena
sebagai hukum yang khusus (lex specialis),agar tidak merujuk kepada KUH Pidana
sebagai “lex generalis”yang pada dasarnya diperuntukan untuk mengatur jenis
pelanggaran dan kejahatan yang terdapat dalam kodifikasi hukum pidana
tersebut.Suatu putusan yangmenghukum terdakwa “pidana denda” dengan subsidair
“pidana kurungan”lebih lengkap dan menjadi jelas apabila dipertimbangan landasan
hukumnya yang mengacu kepada Pasal 30 KUH Pidana.Samarinda, 26 Mei 2020MAS
HUSHENDAR, S.H., M.H.
Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Perkara
Praperadilan
Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.
Di tingkat
Penyidikan dan Penuntutan akibat perkara tersebut tidak diajukan ke
pengadilan negeri atau yang dikenal dengan penghentian penyidikan atau
penuntutan diatur dalam Pasal 81 KUHAP. Adapun tuntutan ganti kerugian di
tingkat pengadilan karena adanya putusan pengadilan yang dinilai merugikan
menurut Pasal 95 ayat (4) dan (5) KUHAP untuk memeriksa dan memutus perkara
ini, maka ketua pengadilan menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan dan pemeriksaan mengikuti acara praperadilan.
Dalam KUHAP berulang diatur perlindungan hukum terhadap tersangka,
terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian melalui sidang
praperadilan sebagaimana dalam pasal 1 angka 10 huruf c dan angka 22, Pasal 30,
Pasal 68, dan pasal 77 huruf b KUHAP, kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 9
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Terdakwa
yang diadili tanpa berdasarkan undang-undang dapat ditafsirkan pasal atau
pasal-pasal peraturan perundangan yang didakwakan dan dituntutkan kepada
terdakwa tidak tepat sesuai dengan kesalahan perbuatan pidana terdakwa sehingga
rumusan unsur-unsur pasal yang didakwakan tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut
Umum dalam persidangan, akibat hukumnya terdakwa diputus bebas oleh pengadilan
(Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Menurut Yahya Harahap “Sekiranya seorang terdakwa
dituntut dan diadili dalam pemeriksaan sidang pengadilan, kemudian ternyata apa
yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasar alat bukti yang sah, sehingga
apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan terdakwa
dibebaskan dari tuntutan pidana. Berarti terdakwa telah dituntut dan diadili
tanpa dasar alasan hukum. Putusan pembebasan tersebut, menjadi dasar bagi
terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas alasan telah dituntut
dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang” (Hukum Online, Hak Terdakwa yang
Dinyatakan Bebas, Letezia Tobing, SH.,M.Kn, Selasa, 11 Agustus 2015).
Dapat pula
terjadi sesuai pembuktian di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP. Menurut para ahli hukum karena perbuatan terdakwa tersebut termasuk
ranah hukum perdata, hukum adat, hukum dagang atau hukum tata usaha negara.
Adapun
kekeliruan mengenai orangnya karena salah tangkap terhadap seorang yang
disidik, didakwa, diperiksa, dan terakhir diputus oleh pengadilan terbukti
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, kemudian terungkap atau muncul
orang yang mengaku sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya, contoh kasus yang
sangat terkenal yaitu : Sengkon dan Karta.
Lain halnya
dengan putusan pidana tentang kekeliruan hukum yang diterapkan, misal :
Terdakwa telah didakwa dengan surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan
yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP
sehingga dalam putusan pengadilan dinyatakan “Surat dakwaan batal demi hukum”.
Kasus lainnya “Terdakwa untuk kedua kalinya dilakukan penyidikan, penuntutan
atau diadili dalam kasus yang sama sehingga melanggar asas nebis in idem”.
Dengan
demikian tuntutan ganti kerugian, tidak hanya disebabkan adanya putusan bebas
melainkan dapat pula terhadap bukan putusan pemidanaan lainnya.
Pemerintah
telah menyiapkan aturan tentang besarnya pembayaran ganti kerugian dan prosedur
pembayarannya kepada pemohon yang dikabulkan tuntutan ganti ruginya dalam
“Sidang Praperadilan”. Mulai sejak diberlakukannya Undangundang RI Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 27
Tahun 1983 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun
1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan
keduanya dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2010 tetapi tidak
menyentuh pengaturan ganti kerugian. Dalam Pasal 9 ditentukan : Besarnya ganti
kerugian paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), apabila mengakibatkan luka berat
atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian
paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan yang mengakibatkan mati,
besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jauh berbeda
dengan sebelumnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 5.000,00 (lima ribu
rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dahulu awal diberlakukannya
KUHAP telah terdapat putusan perkara praperadilan yang mengabulkan permohonan
pemohon, namun belum dapat dibayarkan uang ganti ruginya karena saat itu belum
ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Ini sebagaimana putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 05/JS/PRA/1992, tanggal 11 oktober 1982 yang
amarnya menyatakan : Pemohon diberi ganti kerugian sebesar Rp 3.000,00 (tiga
ribu rupiah) sehari selama 51 hari berada dalam tahanan yang tidak sah
(PRAPERADILAN DALAM PRAKTEK, O.C Kaligis SH, Rusdi Nurima SH, Denny Kailimang
SH, Penerbit Erlangga Jakarta, hal 164,165,dan166).
Yang menjadi
permasalahan kerugian apa yang timbul akibat tindakan aparat penegak hukum
dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban penegakan hukum terhadap tersangka atau
terdakwa tersebut ?. Menyangkut nama baik bagi terdakwa yang diputus bebas atau
lepas dari tuntutan hukum, telah dipulihkan dalam putusan pada bagian amar yang
berbunyi : “Menyatakan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabat (Pasal 1 angka 23 KUHAP”), kecuali apabila perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan negeri permohonan rehabilitasi dapat
diajukan dalam perkara praperadilan (Pasal 97 ayat (3) KUHAP). Tentunya
tuntutan kerugian berupa materi (uang) ini sebagai akibat dikenakan tindakan
pengekangan kebebasan menjalani kehidupan berupa “Penangkapan dan Penahanan”
selama menjalani proses hukum. Oleh karena telah menyangkut “Hak Asasi Manusia”
sehingga dalam amar putusan pengadilan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dikurangkan
seluruhnya dengan selama terdakwa menjalani penangkapan dan penahanan (Pasal 22
ayat (4) KUHAP).
Dari
cuplikan Pasal 1 angka 22 KUHAP dinyatakan “Ganti kerugian merupakan hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah
uang”. Berarti menyangkut kerugian materil yang subtansinya tidak terbatas
sekedar sebagai uang pelipur lara selama tersangka atau terdakwa mendekam dalam
Rumah Tahanan Negara tetapi sebagaimana dalam praktek pengadilan meliputi pula
kerugian kehilangan penghasilan dan keuntungan dari kegiatan usaha selama
menjalani penahanan, pula kerugian karena Pemohon harus membayar biaya
Pengacara. Bahkan menuntut kerugian immaterial karena tidak dapat optimal
mengurus keluarga, tidak sempat bersosialisasi dengan masyarakat, dan nama baik
Pemohon yang tercemar. Jumlah tuntutan ganti kerugian yang besar ini apabila
dikabulkan oleh pengadilan dapat dipenuhi oleh pemerintah karena Peraturan
Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2015 menetapkan besarnya ganti kerugian paling
sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak sejumlah
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Apakah Hakim
dalam memutus tuntutan ganti kerugian dituangkan dalam bentuk “Putusan” atau
“Penetapan” ? Pertanyaan ini menarik untuk dimunculkan, mengingat selama ini
berbagai ragam berupa : Putusan, Keputusan, dan Penetapan. Apabila
diperbandingkan bentuk “Putusan” jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang
“Keputusan” dan “Penetapan”. Untuk contoh pengadilan memutus berupa putusan,
seperti perkara : Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra
/ 2014/PN Jkt.Ut, Nomor 9 /Pid.Pra/2015/PN Smg, Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN
Pbr, Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr. Adapun
yang berbentuk “Penetapan” perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN.Jkt.Sel, sedangkan
berbentuk “Keputusan” perkara Nomor 05/JS/PRA/1982.
Apabila
direkap dari 8 (delapan) perkara ini, yakni :
1.
Berbentuk putusan dan amarnya mengadili terdapat 5
(lima) perkara (Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PNPyk, Nomor 9 / Pid.Pra / 2015 /
PN Smg, Nomor 05 / Pid.Pra / 2016 / PN Pbr, Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan
Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.), putusan dan bunyi amarnya memutuskan 1 (satu) perkara
(Nomor 02/Pid.Pra/2014/PN Jkt. Ut), dan keputusan amarnya mengadili 1 (satu)
perkara (Nomor 05/JS/PRA/1982).
2.
Putusan menolak permohonan praperadilan ada 4 (empat),
yakni : Perkara Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra / 2014 /
PN Jkt., Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.
3.
Putusan menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat
diterima, yakni : Perkara Nomor 9/Pid.Pra/2015/PN Smg dan Nomor
10/Pid.Pra/2016/PN RAP.
4.
Putusan menyatakan permohonan praperadilan dikabulkan,
yakni : Perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr dan Nomor 05/JS/PRA/1982.
Hakim yang
memutus perkara ganti kerugian praperadilan tentang tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan dalam bentuk
“Putusan” mendasarkan pada ketentuan Pasal 81 jo Pasal 82 ayat (2) dan (3)
KUHAP. Adapun bagi Hakim yang memutus perkara praperadilan tersebut dalam
bentuk “Penetapan” mendasarkan pada Pasal 95 ayat 1 jo Pasal 96 KUHAP.
Sesungguhnya macam tuntutan ganti kerugian yang diatur Pasal 81 KUHAP khususnya
tentang tidak sahnya penangkapan atau penahanan diulang lagi dalam Pasal
95 ayat (1) KUHAP sehingga sesuai Pasal 96 ayat (1) KUHAP berbentuk
“Penetapan”. Untuk permohonan praperadilan yang tidak menyangkut tuntutan ganti
kerugian, seperti : sah atau tidak sahnya penangkapan atau penahanan dan sah
atau tidak sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan, tidak sahnya penyitaan
atau rehabilitasi (Pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82 ayat 1 huruf b, ayat
(2) dan (3), dan pasal 97 KUHAP) diputus dalam bentuk “Putusan”.
Tuntutan
ganti rugi diputus dalam bentuk “Penetapan” yang jumlahnya agak besar
dikabulkan oleh pengadilan, sebagaimana dalam perkara Nomor 98 / Pid.Pra /
2016/PN JKT.Sel terkait dengan putusan PT DKI Nomor : 50/PID/2014/PT DKI yang
membebaskan Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges sehingga
para terdakwa mengajukan praperadilan ganti kerugian. Menetapkan :
DALAM
EKSEPSI;
-
Menolak eksepsi Termohon I dan Turut Termohon;
DALAM POKOK
PERKARA;
1.
Mengabulkan permintaan ganti kerugian dari Pemohon I
dan Pemohon II untuk sebagian.
2.
Memerintahkan Negara dalam hal ini Pemerintah Republik
Indonesia cq Menteri Keuangan (Turut Termohon) untuk membayar ganti kerugian
sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon I dan
sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon II
3.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
4.
Membebankan biaya perkara pada Negara.
Kementerian
Keuangan menyatakan bahwa untuk pembayaran ganti kerugian atas korban salah
tangkap Andro Supriyanto & Nurdin Priyanto dilakukan berdasarkan Permenkeu
No : 108/pmk.02/2018 tentang Perubahan atas Permenkeu No: 11/PMK.02/2018
tentang Tata cara revisi anggaran tahun anggaran 2018 (GANTI KERUGIAN DALAM
PRAPERADILAN, disusun oleh TIM PENGADILAN NEGERI PALANGKA RAYA).
Kasus
tuntutan ganti kerugian dalam perkara praperadilan yang didasarkan adanya
putusan bebas sebagai pihak Termohon bukan Hakim dan atau pengadilan, seperti
dalam perkara Nomor 7/Pid.Pra/2016/PN.Pbr Termohonnya adalah Kepolisian dan
Kejaksaan. Prof Bagir Manan saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi dalam perkara
menyangkut Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU No. 11/2012 tentang Sistem
Peradilan Anak mengatakan “Dapat saja ada kesalahan ketika mengadili tetapi
hakim tidak dapat memikul suatu konsekuensi atas putusannya. Di sinilah makna
putusan hakim tidak dapat diganggu gugat (detikNews, rabu, 09 Jan 2013 18:48
WIB)”. Ini sesuai dengan asas kebebasan hakim sebagai aparatur hukum pelaksana
kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan
hakim merupakan produk satu kesatuan kekuasaan kehakiman sehingga secara
bertahap dikoreksi dan dinilai ulang oleh pengadilan yang tingkatnya lebih
tinggi baik dalam tingkat judex facti maupun putusan judex facti oleh judex
juris. Bahkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti dari
judex factie atau judex juris apabila terdapat suatu kekhilafan Hakim atau
sesuatu kekeliruan masih dapat diperiksa dan diputus dalam tingkat Peninjauan
Kembali. Selain pula terdapat SEMA Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan
Terhadap Pengadilan dan Hakim, ditandatangani oleh Prof. Oemar Seno Adji, SH.,
antara lain menyatakan : “Mahkamah Agung minta supaya Pengadilan-pengadilan
Tinggi dan Pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap
Pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas
peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak
permohonan tersebut”. Penulis ketika bertugas di Mahkamah Agung RI tahun
1982 s.d 1985 pernah menulis artikel dengan judul “Hakim Tidak Dapat
Dipraperadilankan” yang dimuat di surat khabar nasional “SINAR HARAPAN”.
Sekalipun
KUHAP tentang perkara praperadilan tidak mengatur proses jawab menjawab antara
Pemohon dengan Termohon termasuk “eksepsi” di dalamnya. Dalam praktek terdapat
Termohon yang mengajukan eksepsi dalam jawabannya, seperti mengenai : Surat
kuasa tidak sah, gugatan error in persona, gugatan salah alamat dan salah obyek
(error in obyekti), subyek Termohon kurang pihak, penetapan tersangka bukan
obyek praperadilan, dan penunjukan subyek hukum yang ditujukan kepada Termohon
tidak jelas. Ini merupakan dalil eksepsi yang menurut hukum acara perdata
disebut sebagai eksepsi prosesuil yang bermaksud menghalangi dikabulkannya
gugatan Penggugat. Kewajiban Hakim untuk mempertimbangkan eksepsi tersebut,
apakah dikabulkan atau ditolak yang dinyatakan pula dalam amar putusan atau
penetapan. Ada yang berpendapat karena perkara praperadilan tidak mengenal
eksepsi sehingga eksepsi Termohon hanya dipertimbangan untuk ditolak dengan
tidak dinyatakan dalam amar.
Pemohon
praperadilan ketika mendaftar perkara di Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri,
layaknya seperti perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum tidak
dikenakan “Biaya Panjar Perkara” karena masuk jenis perkara ranah pidana
sehingga diberi nomor pidana tersendiri “Pid.Pra”. Padahal permohonan tersebut
menuntut ganti rugi sejumlah uang dan untuk dapat terlaksananya persidangan
diperlukan pemanggilan kepada pihak Pemohon, Termohon/Para Termohon, dan Turut
Termohon. Kaidah hukum acara perdata menentukan untuk perkara permohonan
(Volunter) didaftar sebagai perkara perdata dengan dikenakan pembayaran biaya
pendaftaran perkara dan hasil pemeriksaan hakim dituangkan dalam “Penetapan”
dengan amar “Menetapkan”. Dikenal dengan sebutan “jurisdiction valuntaria”
karena hanya ada satu pihak Pemohon dan permohonan yang diajukan bersifat
kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only), tidak menghadapi
pihak lawan dalam perkara ini.
Tidak
demikian dengan perkara praperadilan Pemohon berhadapan dengan Termohon
dan/atau Turut Termohon sehingga sebagaimana perkara gugatan perdata atau
gugatan contentiosa terdapat 2 (dua) pihak yang saling berhadapan. Berimbas
pada proses pemeriksaan yang dibatasi selama 7 (tujuh) hari, terdapat jawab
menjawab, pemeriksaan bukti surat-surat dan saksi-saksi kedua belah pihak
sebelum memutus perkara untuk terpenuhi asas “audie et alteram partem”. Proses
ini, termasuk apa yang dimuat dalam putusan atau penetapan dan biaya perkara
tidak diatur dalam KUHAP. Akibatnya biaya perkara yang ditetapkan dalam bagian
amar bunyinya bervariasi, seperti : Membebankan biaya perkara ini pada negara,
menetapkan biaya perkara dalam permohonan praperadilan ini nihil, dan menghukum
Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil. Lainnya, yakni :
Membebankan biaya kepada Para Pemohon sejumlah Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah)
dan terdapat pula biaya perkara tidak dinyatakan dalam amar putusan.
Status
perkara praperadilan ini merupakan perpaduan antara perkara pidana dan perkara
perdata sehingga tidak mudah dalam menetapkan biaya perkaranya. Dalam perkara
permohonan perdata murni karena hanya ada satu pihak Pemohon, maka biaya
perkara dibebankan kepada Pemohon. Demikian juga dalam perkara gugatan terdapat
ketentuan yang jelas dan tegas, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya
perkara. Anasir keperdataan perkara tuntutan ganti kerugiaan lebih kental
ketimbang sifat pidananya, maka pilihannya condong biaya perkara dibebankan
kepada pihak yang kalah. Ini sebagaimana perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr
“Membebankan biaya perkara kepada Termohon Pra Peradilan I, Termohon Pra
Peradilan II dan Termohon Pra Peradilan III sejumlah Rp 7.500,00 (tujuh ribu
lima ratus rupiah)”. Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Perkara Praperadilan
PERMA RINOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
Sengketa yang dikecualikan dari
kewajiban penyelesaian melalui Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. sengketa yang pemeriksaannya di
persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1. sengketa yang
diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
2. sengketa yang diselesaikan
melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3. keberatan atas putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4. keberatan atas putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5. permohonan pembatalan
putusan arbitrase;
6. keberatan atas putusan
Komisi Informasi;
7. penyelesaian perselisihan partai
politik;
8. sengketa yang diselesaikan
melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9. sengketa lain yang
pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sengketa yang
pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah
dipanggil secara patut;
c. gugatan balik (rekonvensi)
dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. sengketa mengenai
pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke
Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi
dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat
tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani
oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.
Kewajiban Kuasa Hukum
(1) Kuasa hukum wajib
membantu Para Pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam proses Mediasi.
(2) Kewajiban kuasa hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di antaranya meliputi:
a. menyampaikan
penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7)
kepada Para Pihak;
b. mendorong Para Pihak
berperan langsung secara aktif dalam proses Mediasi;
c. membantu Para Pihak
mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan usulan penyelesaian sengketa selama
proses Mediasi;
d. membantu Para Pihak
merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan Perdamaian dalam hal Para Pihak
mencapai kesepakatan;
e. menjelaskan kepada Para Pihak
terkait kewajiban kuasa hukum.
(3) Dalam hal Para Pihak
berhalangan hadir berdasarkan alasan sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4), kuasa hukum dapat mewakili Para Pihak untuk melakukan Mediasi dengan
menunjukkan surat kuasa khusus yang memuat kewenangan kuasa hukum untuk
mengambil keputusan.
(4) Kuasa hukum yang bertindak
mewakili Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib berpartisipasi
dalam proses Mediasi dengan iktikad baik dan dengan
cara yang tidak berlawanan
dengan pihak lain atau kuasa hukumnya.
Hak Para Pihak Memilih
Mediator
(1) Para Pihak berhak memilih
seorang atau lebih Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator di Pengadilan.
(2) Jika dalam proses Mediasi
terdapat lebih dari satu orang Mediator, pembagian tugas Mediator ditentukan
dan disepakati oleh para Mediator.
(3) Ketentuan lebih lanjut
tentang Daftar Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Batas Waktu Pemilihan Mediator
(1) Setelah memberikan penjelasan mengenai
kewajiban melakukan Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7), Hakim
Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak pada hari itu juga, atau paling lama 2
(dua) hari berikutnya untuk berunding guna memilih Mediator termasuk biaya yang
mungkin timbul akibat pilihan penggunaan Mediator nonhakim dan bukan Pegawai
Pengadilan.
(2) Para Pihak segera
menyampaikan Mediator pilihan mereka kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
(3) Apabila Para Pihak tidak
dapat bersepakat memilih Mediator dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara segera menunjuk Mediator Hakim
atau Pegawai Pengadilan.
(4) Jika pada Pengadilan yang
sama tidak terdapat Hakim bukan pemeriksa perkara dan Pegawai Pengadilan yang bersertifikat,
ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk salah satu Hakim Pemeriksa
Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan mengutamakan Hakim yang
bersertifikat.
(5) Jika Para Pihak telah
memilih Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ketua majelis Hakim
Pemeriksa Perkara menunjuk Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
ayat (4), ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan yang
memuat perintah untuk melakukan Mediasi dan menunjuk Mediator.
(6) Hakim Pemeriksa Perkara
memberitahukan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Mediator
melalui panitera pengganti.
(7) Hakim Pemeriksa Perkara
wajib menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak
menempuh Mediasi. " Mediasi n sertifikatnya "
Alur
Prosedur Perkara Perdata
Advokat A2TP n Patners dapat melayani pemberakasan badan hukum yang ingin dilakukan likuidasi dengan mengedapankan efektivitas dan profesionalitas, kurator dan Likuidator yang merupakan anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia. Banyaknya perusahaan yang sudah tidak beraktivitas atau telah berakhirnya pendirian perusahaan berdasarkan akta pendirian perusahaan yang telah menentukan waktu berakhirnya perusahaan, atau para pemenang saham bersepakat untuk melakukan likuidasi, maka perlu adanya pemberasan likuidasi yang dilakukan oleh Likuidator.
Bahwa dalam mekanisme kerja seorang likuidator hampir sama tata caranya dengan Kurator, yang membedakan hanyalah likuidator melakukan proses pemberesan hingga badan hukum tersebut telah bubar/tutup selamanya dan tidak lagi dalam catatan kementerian hukum dan ham serta kantor pajak.
Pentingnya badan hukum perusahaan yang sudah tidak beroperasi dilakukan likuidasi. Dimana petugas pajak karena dalam catatan banyak perusahaan yang berposisi dapat diistilahkan hidup segan mati tak mau, artinya ada perusahaa tidak beroperasional tapi perusahaan tersebut tidak dilikuidasi oleh para pemegang sahamnya.
" Pengadilan Niaga solusi sengketa utang piutang "
Pada saat terjadi wanprestasi terhadap perjanjian utang piutang, sekarang ini para kreditur lebih memilih penyelesaian melalui Pengadilan Niaga
Secara limitatip UU Kepailitan dalam Pasal 1 angka 6 memberikan definisi utang yaitu:
"... Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor."
Lalu bagaimana cara mengajukan ke pengadilan Niaga, maka Kreditor yang akan mengajukan permohonan Kepailitan dapat mengajukan ke Pengadilan Niaga dan wajib menunjuk seorang advokat dalam pengajuan permohonan tersebut. Adapun Permohonan dapat diterima harus memenuhi persyaratan diataranya :
1. Harus adanya minimal 2(dua) Kreditor atau lebih
2. Utang telah Jatuh tempo dan dapat ditagih
3. Pembuktian sederhana
Sementara untuk perkara PKPU, apabila diajukan oleh debitor maka dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan atau 20 hari dalam hal diajukan oleh kreditor, Pengadilan Niaga mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus untuk bersama sama dengan debitor mengurus harta debitor. Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk menetapkan atau menolak permohonan PKPU tetap berdasarkan persetujuan kreditor konkuren.
Legal Info :
No comments:
Post a Comment