HUKUM


Sebagai kantor hukum, advokat dan/atau pengacara pada umumnya, kantor hukum Agus Albert TPM & PARTNERS juga melayani penanganan kasu hukum atau perkara-perkara pidana pada umumnya. Dalam penanganan kasus yang diduga ada tindak pidana, sebelum perkara tersebut dilaporkan ke Kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, kami biasanya akan mengusahakan  penanganan secara nonlitigasi (proses penyelesaian perkara diluar jalur peradilan), utnuk itu diharapkan KETERBUKAN INFORMASI dari Klien Kami.
 
Sebagai manusia yang memiliki jiwa sosial, tentunya kita tidak ingin bermasalah dengan siapa dan apa pun. Harapannya, kita bisa selalu hidup tenteram tanpa masalah dengan orang lain. Bagi yang benar-benar “awam” dalam hukum, proses hukum mungkin hanya sebatas pelaporan ke pihak berwajib, pemanggilan oleh pihak berwajib, proses pengadilan, lalu dijatuhkan hukuman. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
   
Hukum pidana merupakan wilayah di mana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan warga negara lain. Hukum pidana Indonesia tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam proses hukum pidana, terdapat prosedur atau hukum acara yang saat ini diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk lebih memahaminya, simak upaya hukum biasa untuk kasus pidana umum berikut ini.
      
           Laporan/pengaduan/tertangkap tangan
Setiap orang yang mengalami/melihat/menyaksikan/menjadi korban peristiwa tindak pidana bisa melaporkan atau membuat pengaduan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum.
     
         Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
       
          Penyidikan
Setelah menerima laporan, pejabat polisi Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi dan dimaksudkan untuk mencari tersangka dari tindak pidana tersebut.
           
          Penangkapan
Untuk kepentingan penyidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
      
          Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, jika menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.

          Penggeledahan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau pakaian atau badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Surat penggeledahan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat.

          Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

          Bantuan hukum
Guna kepentingan pembelaan, seorang tersangka atau terdakwa berhak menerima bantuan hukum, walaupun dia benar sebagai pelaku tindak pidana.

          Prapenuntutan dan penuntutan
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa atau diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

          Praperadilan
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sidang ini hanya dipimpin oleh seorang hakim. Jika pada tahap praperadilan tersangka dinyatakan tidak bersalah, tuntutan akan batal demi hukum. Namun, jika praperadilan hanya memutuskan sesuai atau tidaknya tahap penangkapan dan penahanan, kasus akan tetap diproses.

          Sidang pengadilan
Setelah pelimpahan dokumen oleh jaksa penuntut umum, perkara akan masuk ke tahap sidang pengadilan. Mengadili berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Selama proses peradilan, terdakwa masih dianggap tidak bersalah (presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah) hingga jatuh putusan pengadilan.

Bagi Anda yang sedang mengalami atau terkena kasus pidana seperti tersebut diatas, baik sebagai saksi, korban ataupun Tersangka, silahkan hubungi kami untuk mendapatkan bantuan/jasa hukum dari kantor kami.

Layanan Jasa Hukum Kami

  1. Perkara Pidana KHUSUS
  2. Perkara Pidana UMUM
  3. Tata Usaha Negara
  4. Perkawinan & Perceraian
  5. Kasus Pertanahan
  6. Hukum Keluarga & Waris
  7. Hukum Perjanjian
  8. Kasus Bisnis & Perusahaan 






Memberikan bantuan hukum merupakan salah satu jasa hukum yang diberikan oleh advokat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).

Pasal 1 angka 2 UU Advokat:

Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.”



Pasal 1 angka 1 UU Advokat:

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum


Latar Belakang


Pertimbangan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah:
  1. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;
  2. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan;
  3. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum;

Dasar Hukum



Dasar hukum Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan Pelaksanaanya sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 1 Tahun 2014 (https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_nomor_01_tahun_2014.pdf ) , -MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIADIREKTUR JENDERALBADAN PERADILAN UMUMKEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BADAN PERADILAN UMUMNomor : 52/DJU/SK/HK.006/5/Tahun2014TENTANGPETUNJUK PELAKSANAANPERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1 TAHUN 2014TENTANGPEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUMBAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN (https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/Petunjuk_Pelaksanaan_Peraturan_Mahkamah_Agung_RI_Nomor_1_Tahun_2014.pdf )

Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum


Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin.
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana.

Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum


Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin.
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana.








EFEKTIVITAS PIDANA DENDA DALAM PERKARA NARKOTIKA
Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur

           Menurut pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika “Putusan pidana denda tidak dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dijatuhi pidana penjara paling selama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda. ”Ketentuan ini tidak diatur lebih lanjut mengenai perhitungan lamanya pidana penjara dengan besarnya pidana denda yang dijatuhkan Hakim. Tidak adanya pedoman dalam menentukan berat ringannya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda ini, maka dalam praktek pengadilan Hakim menetapkan lamanya pidana penjara bervariasi. Bandingkan dengan KUH Pidana secara detil memberikan ukuran sebagai pedoman bagi Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam menetapkan pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.Pidana kurungan pengganti paling sedikit 1 (satu) hari dan paling lama 6 (enam) bulan, kecuali untuk tindak pidana perbarengan, pengulangan atau ketentuan pasal 52 pidana kurungan pengganti paling lama 8 (delapan) bulan. Adapun pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Ditentukan untuk pidana denda tujuh rupiah lima puluh dua sen demikian sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh dua sen,dihitung paling banyak 1 (satu) hari (Pasal 30 KUH Pidana).Pengaturan ini begitu gamblang sehingga memudahkan untuk melakukan penghitungan bagi siapa pun dan terhindar disparitas penjatuhan hukuman pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda. Berbeda dengan Undang-undang Narkotika tidak memberikan patokanuntukmenetapkan pidana penjara (bukan pidana kurungan) sebagai pidana pengganti denda. Akibatnya antara putusan satu dengan putusan lainterhadap pelanggaran pasal yang samasaling berbeda pidana penjara pengganti denda yang dijatuhkan. Misal pidana denda ditetapkan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar), namun pidana penjara pengganti dendanya ditetapkan 1 (satu) bulan, (3) bulan atau 6 (enam) bulan. Pertimbangan Majelis Hakim ada yang didasarkan karena tuntutan Penuntut Umum terlalu tingggi sehingga pidana penjara sebagai pengganti dendanya dikurangi menjadi setengahnya. Terdapat pula Majelis Hakim menjatuhkan “Pidana Kurungan sebagai pengganti Pidana Denda”, seperti dalam putusan Nomor : 344/Pid.Sus/2019/PN.Tar tanggal 24 Maret 2020 “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) Tahun dan Pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) Tahun.Terdapat putusan terdakwa terbukti pasal 112 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pidana denda yang dijatuhkan sejumlah Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) sesuai tuntutan Penuntut Umum (Pasal 114 ayat (1), seharusnya sejumlah Rp. 800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah).Ini akibat kekurang telitian Majelis Hakim dalam menerapkan besarnya pidana denda antara satu pasal dengan pasal lain berbeda.Dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti pidana denda berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan (Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010). Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak mengatur jenis pidana subsidair sebagai pengganti pidana denda, dalam praktek mengacu kepada KUH Pidana berupa “Pidana Kurungan”.Lain halnya dalam perkara anak sebagai pengganti pidana denda adalah “Pelatihan Kerja”(Pasal 71 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.Namun dalam praktek pengadilan terdapat yang menerapkan “Pidana Kurungan”sebagai pengganti Pidana Denda.Untuk mengatasi disparitas putusan seperti ini, paling tidak dalam suatu wilayah pengadilan negeri menetapkan berdasarkan kesepakatan para hakim dan pimpinan
3 pengadilan dengan menyusun kriteria dalam menjatuhkan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda untuk terendah, menengah dan tertinggi. Tidak menutup kemungkinan selanjutnya dikembangkan untuk suatu wilayah Pengadilan Tinggi.Sekalipun Undang-undang Narkotika tidak mengenal pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, namun menganut pula jenis pidana pokok berupa “pidana kurungan”sebagai alternatif untuk dijatuhkan pidana denda.Selain itu terdapat ketidak konsistenan pengaturan untuk padanan pidana kurungan dengan pidana denda. Terhadap orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), sedangkan keluarga dari pecandu narkotika yang sudah cukup umur sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pengaturan hukuman ini sama-sama untuk orang tua, wali atau keluarga. Apabila hendak dilihat dari disatu sisi pecandu belum cukup umur dan di sisi lain pecandu sudah cukup umur sehingga hukumannya lebih ringan (pidana kurungan 3 (tiga) bulan), semestinya pidana dendanya setengahnya pula sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Demikian pula bagi pecandu narkotika cukup umur dan sengaja tidak melapor diri, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)(Pasal 128 ayat (1) dan pasal 134).Keadaan demikian menujukan padanan lamanya pidana kurungan dengan pidana denda pasal satu dengan pasal lain berbeda.Untuk lamanya pidana kurungan yang sama terhadap tindak pidana narkotikatetapi pidana dendanya berbeda.Pada umumnya pidana dendasebagai alternatifdan pidana dendasebagai kumulatif dari pidana pokok yang ditentukan dalam Undang-undang narkotika cukup tinggi sehingga terpidana tidak mampu untuk membayar sejumlah uang sebagai pidana denda kepada Negara. Bagi terpidana yang memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda sebagai gembong narkotika (penyalur besar), uangnya lebih baik digunakan sebagai modal untuk mengendalikan jual beli narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dari pada membayar pidana denda. Selama ini Pengadilan Negeri tidak memiliki data tentang pelaksanaan putusan pidana denda perkara narkotika. Sesuai pasal 278 KUHAP Pengadilan Negeri sesungguhnya mudah untuk memantau pelaksanaan putusan pidana denda dalam perkara narkotika, apabila setiap pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum dilaporkan kepada Pengadilan Negeri, namun kenyataannya tidak demikian.Sebagai panduan kapan pidana denda dilaksanakan, menurut pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP terpidana diberikan waktu satu bulan dan dapat diperpanjang paling lama satu bulan apabila terdapat alasan kuat, kecuali putusan acara pemeriksaan cepat harus seketika dilunasi.Sebaliknya untuk perkara lain bahwa pidana pengganti denda berupa pidana kurungan dapat dilaksanakan segera dengan tidak menunggu batas waktu pembayaran denda (Pasal 31 ayat (1) KUH Pidana).Dalam putusan perkara narkotika tidak memuat tentang waktu pelaksanaan pembayaran pidana dendasehingga pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP ini diterapkan pada saat pelaksanaan putusan. Pembatasan waktu berakhirnya pembayaran pidana denda ini berlaku untuk terdakwa pelaku tindak pidana narkotika yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Batas waktu pelaksanaan putusan pidana denda paling lama 2 (dua) bulan, terhitung sejak terpidana melaksanakan putusan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP). Apabila dalam jangka waktu ini terpidana belum melaksanakan pembayaran pidana denda, maka secara yuridis terpidana menjalani lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sesuai yang dinyatakan dalam amar putusan. Berdasarkan pengamatan pidana denda dalam putusan perkara narkotika sejauh ini dinilaibelum memenuhi tujuan pemidanaan karena pidana denda yang jumlahnya besar tersebut tidak dilaksanakan oleh terpidana, demikian halnya seperti dalam perkara korupsi sekali pun pelaksana pembayar denda dapat dilakukan oleh orang lain untuk seluruhnya atau sebagian dari jumlah pidana denda tersebut. Akibatnya efek jera bagi terpidana diharapkan membayar pidana denda tidak tercapai dengan terpidana lebih memilih pidana penjaranya. Untuk gambaran pada Lapas Narkotika Kelas II.A Samarinda tidak seorang pun terpidana yang membayar pidana denda tetapi semuanya menjalani pidana penjara pengganti denda. Ini sesuai Rekapitulasi Warga Binaan Lapas Narkotika Kelas II.A Samarinda yang menjalani pidana penjara pengganti denda (Register B III Subsider) Tahun 2020 : Januari 15, Februari 36, Maret 17, April 68, dan Mei 23 sehingga total sebanyak 159. Penyebab lainnya karena tidak terdapat pasal yang mengatur “Tindakan Paksaan atau Daya Paksa” terhadap terpidana yang tidak dapatatau bersediamembayar pidana denda sebelumakhir batas waktu yang ditetapkan. Tidak sebagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang tidak bersedia membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Padahal apabila pidana denda tersebut dibayar oleh terpidana,maka uang tersebut menjadi PNBP yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastrukur. Kontradiksi dengan perkara tilang terpidana lebih memilih membayar pidana denda dari pada pidana kurungan penggantinya. Untuk diperhatikan agar pidana denda terlaksana efektifmesti terdapat keseimbangan antara besarnya pidana denda dengan lamanya pidana penjara pengganti,khususnya kemampuan terpidanadapat membayar denda yang telah ditetapkan.Realistis besarnya pidana denda yang dijatuhkan dalam putusan sesuai kemampuan ekonomi dan status sosial terdakwa. Lain halnya dengan perkara narkotika, Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan seperti ini karena undang-undang telah memberikan batasan minimal atau paling sedikit besarnya pidana denda yang nota bene jumlahnya cukup tinggi.Batas minimal pidana denda terendah dalam Undang-undang ini paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluhjuta rupiah), sedangkan pidana denda tertinggi paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah). Untuk tindak pidana narkotika tertentu pelaku dikenakan hukuman “pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga), seperti : Penyalahgunaan narkotika yang beratnya melebihi 5 (lima) gram (Pasal 133 ayat (1), pasal 114 ayat (2) dan pasal 118 ayat (2))”. Adanya pembatasan pidana minimal seperti ini, sebagaimana aliran legisme Hakim didorong sebagai “Corong Undang-undang”untuk terpaku menjatuhkan besarnya pidana denda minimal yang telah ditentukan, sekalipun berdasarkan hasil pemeriksaan danperasaan keadilan Hakim sesuai kemampuan terdakwa selayaknya
dijatuhi pidana denda yang jumlahnya lebih kecil. Menjadi pertanyaan apa yang melandasi pemikiran pembuat undang-undang menentukan pidana denda dengan batas minimal sangat tinggi, tidak mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi pelaku tindak pidana narkotika yang umumnya masyarakat kelas bawah. Pengecualian dalam perkara narkotikat ertentu yaitu : pelaku tidak melaporkan penyalahgunaan narkotika dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), sehingga memberikan kewenangan kepada Hakim untuk menjatuhkan besarnya pidana denda sesuai nurani keadilannya. Sebaliknya terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup dibebaskan dari tambahan pidana denda. . Penutup Dengan tidak terciptanya tujuan pemidanaan berupa pidana denda dalam perkara narkotika, sebagai pemecahannya undang-undang narkotika tidak mengatur batas bawah atau paling sedikit besarnya pidana denda, melainkan cukup mengatur batas atas atau pidana denda paling banyak sehingga Hakim lebih leluasa dalam menjatuhkan besarnya pidana denda terhadap terdakwa sesuai apa yang terungkap dalam persidangan.Tentu memperhatikan keseimbangan dengan pidana penjara pengganti denda yang dijatuhkan.Sebaliknya untuk memberikan perasaan jera terhadap terdakwa Hakim lebih mempertinggi lamanya pidana penjara terhadap terdakwa dalam hukuman pokoknya.Dengan demikian ke depan diharapkan lebih efektif penjatuhan pidana denda karena selain terpidana mampu untuk membayar besarnya denda sesuai putusan tersebut, dari sudut pandang lain pidana denda menguntungkan terpidana karena tidak membuat tercela pribadinya, cepat dan lebih praktis pelaksanaannya serta tidak merendahkan martabat manusia, selain mengatasi kelebihan penghuni Lapas yang menyedot anggaran keuangan Negara. Apalagi pada masa penyebaran “Covid 19”sehingga terpidana yang belum selesai menjalani hukuman sebayak 30.000 Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid 19. Selama Undang-undang Narkotika ini belum dilakukan perubahan dan berbagai Undang-undang lainnya pun mengatur pidana denda yang tidak efektif dalam penerapannya, maka kehadiran terobosan penegakan hukum tidak hanya legalistik menganut aliran positivisme hukum, melainkan mempertimbangkan pula nilai-nilai keadilan dan kebenaran secara bijaksana berupa penegakan hukum progresif sehingga penegakan hukum dirasakan lebih bermanfaat. Pada setiap Undang-undang yang mengatur pidana denda sudah semestinya mengatur pasal subsidair berupa pidana pengganti denda karena sebagai hukum yang khusus (lex specialis),agar tidak merujuk kepada KUH Pidana sebagai “lex generalis”yang pada dasarnya diperuntukan untuk mengatur jenis pelanggaran dan kejahatan yang terdapat dalam kodifikasi hukum pidana tersebut.Suatu putusan yangmenghukum terdakwa “pidana denda” dengan subsidair “pidana kurungan”lebih lengkap dan menjadi jelas apabila dipertimbangan landasan hukumnya yang mengacu kepada Pasal 30 KUH Pidana.Samarinda, 26 Mei 2020MAS HUSHENDAR, S.H., M.H.


Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Perkara Praperadilan
Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.

Di tingkat Penyidikan dan Penuntutan akibat perkara tersebut tidak diajukan ke  pengadilan negeri atau yang dikenal dengan penghentian penyidikan atau penuntutan diatur dalam Pasal 81 KUHAP. Adapun tuntutan ganti kerugian di tingkat pengadilan karena adanya putusan pengadilan yang dinilai merugikan menurut Pasal 95 ayat (4) dan (5) KUHAP untuk memeriksa dan memutus perkara ini, maka ketua pengadilan menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan dan pemeriksaan mengikuti acara praperadilan. Dalam KUHAP berulang diatur  perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian melalui sidang praperadilan sebagaimana dalam pasal 1 angka 10 huruf c dan angka 22, Pasal 30, Pasal 68, dan pasal 77 huruf b KUHAP, kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena  kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Terdakwa yang diadili tanpa berdasarkan undang-undang dapat ditafsirkan pasal atau pasal-pasal peraturan perundangan yang didakwakan dan dituntutkan kepada terdakwa tidak tepat sesuai dengan kesalahan perbuatan pidana terdakwa sehingga rumusan unsur-unsur pasal yang  didakwakan tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum dalam persidangan, akibat hukumnya terdakwa diputus bebas oleh pengadilan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Menurut Yahya Harahap “Sekiranya seorang terdakwa dituntut dan diadili dalam pemeriksaan sidang pengadilan, kemudian ternyata apa yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasar alat bukti yang sah, sehingga apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan terdakwa dibebaskan dari tuntutan pidana. Berarti terdakwa telah dituntut dan diadili tanpa dasar alasan hukum. Putusan pembebasan tersebut, menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas alasan telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang” (Hukum Online, Hak Terdakwa yang Dinyatakan Bebas, Letezia Tobing, SH.,M.Kn, Selasa, 11 Agustus 2015). 
Dapat pula terjadi sesuai pembuktian di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Menurut para ahli hukum karena perbuatan terdakwa tersebut termasuk ranah hukum perdata, hukum adat, hukum dagang atau hukum tata usaha negara.
Adapun  kekeliruan mengenai orangnya karena salah tangkap terhadap seorang yang disidik, didakwa, diperiksa, dan terakhir diputus oleh pengadilan terbukti dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, kemudian terungkap atau muncul orang yang mengaku sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya, contoh kasus yang sangat terkenal yaitu : Sengkon dan Karta.
Lain halnya dengan putusan pidana tentang kekeliruan hukum yang diterapkan, misal : Terdakwa telah didakwa dengan surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP sehingga dalam putusan pengadilan dinyatakan “Surat dakwaan batal demi hukum”. Kasus lainnya “Terdakwa untuk kedua kalinya dilakukan penyidikan, penuntutan atau diadili dalam kasus yang sama sehingga melanggar asas nebis in idem”.
Dengan demikian tuntutan ganti kerugian, tidak hanya disebabkan adanya putusan bebas melainkan dapat pula terhadap bukan putusan pemidanaan lainnya.
Pemerintah telah menyiapkan aturan tentang besarnya pembayaran ganti kerugian dan prosedur pembayarannya kepada pemohon yang dikabulkan tuntutan ganti ruginya dalam “Sidang Praperadilan”. Mulai sejak diberlakukannya Undangundang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 27  Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan keduanya dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2010 tetapi tidak menyentuh pengaturan ganti kerugian. Dalam Pasal 9 ditentukan : Besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), apabila  mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jauh berbeda dengan sebelumnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dahulu awal diberlakukannya KUHAP telah terdapat putusan perkara praperadilan yang mengabulkan permohonan pemohon, namun belum dapat dibayarkan uang ganti ruginya karena saat itu belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Ini sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 05/JS/PRA/1992, tanggal 11 oktober 1982 yang amarnya menyatakan : Pemohon diberi ganti kerugian sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sehari selama 51 hari berada dalam tahanan yang tidak sah (PRAPERADILAN DALAM PRAKTEK, O.C Kaligis SH, Rusdi Nurima SH, Denny Kailimang SH, Penerbit Erlangga Jakarta, hal 164,165,dan166).
Yang menjadi permasalahan kerugian apa yang timbul akibat tindakan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa tersebut ?. Menyangkut nama baik bagi terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum, telah dipulihkan dalam putusan pada bagian amar yang berbunyi : “Menyatakan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat (Pasal 1 angka 23 KUHAP”), kecuali apabila perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri permohonan rehabilitasi  dapat diajukan dalam perkara praperadilan (Pasal 97 ayat (3) KUHAP). Tentunya tuntutan kerugian berupa materi (uang) ini sebagai akibat dikenakan tindakan pengekangan kebebasan menjalani kehidupan berupa “Penangkapan dan Penahanan” selama menjalani proses hukum. Oleh karena telah menyangkut “Hak Asasi Manusia” sehingga dalam amar putusan pengadilan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dikurangkan seluruhnya dengan selama terdakwa menjalani penangkapan dan penahanan (Pasal 22 ayat (4) KUHAP).
Dari cuplikan Pasal 1 angka 22 KUHAP dinyatakan “Ganti kerugian merupakan hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang”. Berarti menyangkut kerugian materil yang subtansinya tidak terbatas sekedar sebagai uang pelipur lara selama tersangka atau terdakwa mendekam dalam Rumah Tahanan Negara tetapi sebagaimana dalam praktek pengadilan meliputi pula kerugian kehilangan penghasilan dan keuntungan dari kegiatan usaha selama menjalani penahanan, pula kerugian karena Pemohon harus membayar biaya Pengacara. Bahkan menuntut kerugian immaterial karena tidak dapat optimal mengurus keluarga, tidak sempat bersosialisasi dengan masyarakat, dan nama baik Pemohon yang tercemar. Jumlah tuntutan ganti kerugian yang besar ini apabila dikabulkan oleh pengadilan dapat dipenuhi oleh pemerintah karena Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2015 menetapkan besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Apakah Hakim dalam memutus tuntutan ganti kerugian dituangkan dalam bentuk “Putusan” atau “Penetapan” ? Pertanyaan ini menarik untuk dimunculkan, mengingat selama ini berbagai ragam berupa : Putusan, Keputusan, dan Penetapan. Apabila diperbandingkan bentuk “Putusan” jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang “Keputusan” dan “Penetapan”. Untuk contoh pengadilan memutus berupa putusan, seperti  perkara : Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra / 2014/PN Jkt.Ut, Nomor 9 /Pid.Pra/2015/PN Smg, Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr,  Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr. Adapun yang berbentuk “Penetapan” perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN.Jkt.Sel, sedangkan berbentuk “Keputusan” perkara Nomor 05/JS/PRA/1982.
Apabila direkap dari 8 (delapan) perkara ini, yakni : 
1.      Berbentuk putusan dan amarnya mengadili terdapat 5 (lima) perkara (Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PNPyk, Nomor 9 / Pid.Pra / 2015 / PN Smg, Nomor 05 / Pid.Pra / 2016 / PN Pbr, Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.), putusan dan bunyi amarnya memutuskan 1 (satu) perkara (Nomor 02/Pid.Pra/2014/PN Jkt. Ut), dan keputusan amarnya mengadili 1 (satu) perkara (Nomor 05/JS/PRA/1982).
2.      Putusan menolak permohonan praperadilan ada 4 (empat), yakni : Perkara Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra / 2014 / PN Jkt., Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.
3.      Putusan menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima, yakni : Perkara Nomor 9/Pid.Pra/2015/PN Smg dan Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP.
4.      Putusan menyatakan permohonan praperadilan dikabulkan, yakni : Perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr dan Nomor 05/JS/PRA/1982.
Hakim yang memutus perkara ganti kerugian praperadilan tentang tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan dalam bentuk “Putusan” mendasarkan pada ketentuan Pasal 81 jo Pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP. Adapun bagi Hakim yang memutus perkara praperadilan tersebut dalam bentuk “Penetapan” mendasarkan pada Pasal 95 ayat 1 jo Pasal 96 KUHAP. Sesungguhnya macam tuntutan ganti kerugian yang diatur Pasal 81 KUHAP khususnya tentang tidak sahnya penangkapan  atau penahanan diulang lagi dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP sehingga sesuai Pasal 96 ayat (1) KUHAP berbentuk “Penetapan”. Untuk permohonan praperadilan yang tidak menyangkut tuntutan ganti kerugian, seperti : sah atau tidak sahnya penangkapan atau penahanan dan sah atau tidak sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan, tidak sahnya penyitaan atau rehabilitasi (Pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82 ayat 1 huruf b, ayat (2) dan (3), dan pasal  97 KUHAP)  diputus dalam bentuk “Putusan”.
Tuntutan ganti rugi diputus dalam bentuk “Penetapan” yang jumlahnya agak besar dikabulkan oleh pengadilan, sebagaimana dalam perkara Nomor 98 / Pid.Pra / 2016/PN JKT.Sel terkait dengan putusan PT DKI Nomor : 50/PID/2014/PT DKI yang membebaskan Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges sehingga para terdakwa mengajukan praperadilan ganti kerugian. Menetapkan : 
DALAM EKSEPSI;
-     Menolak eksepsi Termohon I dan Turut Termohon;
DALAM POKOK PERKARA;
1.      Mengabulkan permintaan ganti kerugian dari Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian.
2.      Memerintahkan Negara dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Keuangan (Turut Termohon) untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon I dan sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon II
3.      Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4.      Membebankan biaya perkara pada Negara.
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa untuk pembayaran ganti kerugian atas korban salah tangkap Andro Supriyanto & Nurdin Priyanto dilakukan berdasarkan Permenkeu No : 108/pmk.02/2018 tentang Perubahan atas Permenkeu No: 11/PMK.02/2018 tentang Tata cara revisi anggaran tahun anggaran 2018 (GANTI KERUGIAN DALAM PRAPERADILAN, disusun oleh TIM PENGADILAN NEGERI PALANGKA RAYA).
Kasus tuntutan ganti kerugian dalam perkara praperadilan yang didasarkan adanya putusan bebas sebagai pihak Termohon bukan Hakim dan atau pengadilan, seperti dalam perkara Nomor 7/Pid.Pra/2016/PN.Pbr Termohonnya adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Prof Bagir Manan saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi dalam perkara menyangkut Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengatakan “Dapat saja ada kesalahan ketika mengadili tetapi hakim tidak dapat memikul suatu konsekuensi atas putusannya. Di sinilah makna putusan hakim tidak dapat diganggu gugat (detikNews, rabu, 09 Jan 2013 18:48 WIB)”. Ini sesuai dengan asas kebebasan hakim sebagai aparatur hukum pelaksana kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan hakim merupakan produk satu kesatuan kekuasaan kehakiman sehingga secara bertahap dikoreksi dan dinilai ulang oleh pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi baik dalam tingkat judex facti maupun putusan judex facti oleh judex juris. Bahkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti dari judex factie atau judex juris apabila terdapat suatu kekhilafan Hakim atau sesuatu kekeliruan masih dapat diperiksa dan diputus dalam tingkat Peninjauan Kembali. Selain pula terdapat SEMA  Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim, ditandatangani oleh Prof. Oemar Seno Adji, SH., antara lain menyatakan : “Mahkamah Agung minta supaya Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap Pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak permohonan  tersebut”. Penulis ketika bertugas di Mahkamah Agung RI tahun 1982 s.d 1985 pernah menulis artikel dengan judul “Hakim Tidak Dapat Dipraperadilankan”  yang dimuat di surat khabar nasional “SINAR HARAPAN”.
Sekalipun KUHAP tentang perkara praperadilan tidak mengatur proses jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon termasuk “eksepsi” di dalamnya. Dalam praktek terdapat Termohon yang mengajukan eksepsi dalam jawabannya, seperti mengenai : Surat kuasa tidak sah, gugatan error in persona, gugatan salah alamat dan salah obyek (error in obyekti), subyek Termohon kurang pihak, penetapan tersangka bukan obyek praperadilan, dan penunjukan subyek hukum yang ditujukan kepada Termohon tidak jelas. Ini merupakan dalil eksepsi yang menurut hukum acara perdata  disebut sebagai eksepsi prosesuil yang bermaksud menghalangi dikabulkannya gugatan Penggugat. Kewajiban Hakim untuk mempertimbangkan eksepsi tersebut, apakah dikabulkan atau ditolak yang dinyatakan pula dalam amar putusan atau penetapan. Ada yang berpendapat karena perkara praperadilan tidak mengenal eksepsi sehingga eksepsi Termohon hanya dipertimbangan untuk ditolak dengan tidak dinyatakan dalam amar.
Pemohon praperadilan ketika mendaftar perkara di Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri, layaknya seperti perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum tidak dikenakan “Biaya Panjar Perkara” karena masuk jenis perkara ranah pidana sehingga diberi nomor pidana tersendiri “Pid.Pra”. Padahal permohonan tersebut menuntut ganti rugi sejumlah uang dan untuk dapat terlaksananya persidangan diperlukan pemanggilan kepada pihak Pemohon, Termohon/Para Termohon, dan Turut Termohon. Kaidah hukum acara perdata menentukan untuk perkara permohonan (Volunter) didaftar sebagai perkara perdata dengan dikenakan pembayaran biaya pendaftaran perkara dan hasil pemeriksaan hakim dituangkan dalam “Penetapan” dengan amar “Menetapkan”. Dikenal dengan sebutan “jurisdiction valuntaria” karena hanya ada satu pihak Pemohon dan permohonan yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only), tidak menghadapi pihak  lawan dalam perkara ini. 
Tidak demikian dengan perkara praperadilan Pemohon berhadapan dengan Termohon dan/atau Turut Termohon sehingga sebagaimana perkara gugatan perdata atau gugatan contentiosa terdapat 2 (dua) pihak yang saling berhadapan. Berimbas pada proses pemeriksaan yang dibatasi selama 7 (tujuh) hari, terdapat jawab menjawab, pemeriksaan bukti surat-surat dan saksi-saksi kedua belah pihak sebelum memutus perkara untuk terpenuhi asas “audie et alteram partem”. Proses ini, termasuk apa yang dimuat dalam putusan atau penetapan dan biaya perkara tidak diatur dalam KUHAP. Akibatnya biaya perkara yang ditetapkan dalam bagian amar bunyinya bervariasi, seperti : Membebankan biaya perkara ini pada negara, menetapkan biaya perkara dalam permohonan praperadilan ini nihil, dan menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil. Lainnya, yakni : Membebankan biaya kepada Para Pemohon sejumlah Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan terdapat pula biaya perkara tidak dinyatakan dalam amar putusan.
Status perkara praperadilan ini merupakan perpaduan antara perkara pidana dan perkara perdata sehingga tidak mudah dalam menetapkan biaya perkaranya. Dalam perkara permohonan perdata murni karena hanya ada satu pihak Pemohon, maka biaya perkara dibebankan kepada Pemohon. Demikian juga dalam perkara gugatan terdapat ketentuan yang jelas dan tegas, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara. Anasir keperdataan perkara tuntutan ganti kerugiaan lebih kental ketimbang sifat pidananya, maka pilihannya condong biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah. Ini sebagaimana perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr “Membebankan biaya perkara kepada Termohon Pra Peradilan I, Termohon Pra Peradilan II dan Termohon Pra Peradilan III sejumlah Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)”. Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Perkara Praperadilan






PERMA RINOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN


          Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
          Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
2. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3. keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4. keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5. permohonan pembatalan putusan arbitrase;
6. keberatan atas putusan Komisi Informasi;
7. penyelesaian perselisihan partai politik;
8. sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9. sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
c. gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

Kewajiban Kuasa Hukum

(1) Kuasa hukum wajib membantu Para Pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam proses Mediasi.
(2) Kewajiban kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya meliputi:
a. menyampaikan penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) kepada Para Pihak;
b. mendorong Para Pihak berperan langsung secara aktif dalam proses Mediasi;
c. membantu Para Pihak mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan usulan penyelesaian sengketa selama proses Mediasi;
d. membantu Para Pihak merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan Perdamaian dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan;
e. menjelaskan kepada Para Pihak terkait kewajiban kuasa hukum.
(3) Dalam hal Para Pihak berhalangan hadir berdasarkan alasan sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), kuasa hukum dapat mewakili Para Pihak untuk melakukan Mediasi dengan menunjukkan surat kuasa khusus yang memuat kewenangan kuasa hukum untuk mengambil keputusan.
(4) Kuasa hukum yang bertindak mewakili Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib berpartisipasi dalam proses Mediasi dengan iktikad baik dan dengan
cara yang tidak berlawanan dengan pihak lain atau kuasa hukumnya.

Hak Para Pihak Memilih Mediator

(1) Para Pihak berhak memilih seorang atau lebih Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator di Pengadilan.
(2) Jika dalam proses Mediasi terdapat lebih dari satu orang Mediator, pembagian tugas Mediator ditentukan dan disepakati oleh para Mediator.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Daftar Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Batas Waktu Pemilihan Mediator

 (1) Setelah memberikan penjelasan mengenai kewajiban melakukan Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7), Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak pada hari itu juga, atau paling lama 2 (dua) hari berikutnya untuk berunding guna memilih Mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan.
(2) Para Pihak segera menyampaikan Mediator pilihan mereka kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
(3) Apabila Para Pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara segera menunjuk Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan.
(4) Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat Hakim bukan pemeriksa perkara dan Pegawai Pengadilan yang bersertifikat, ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk salah satu Hakim Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan mengutamakan Hakim yang bersertifikat.
(5) Jika Para Pihak telah memilih Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan yang memuat perintah untuk melakukan Mediasi dan menunjuk Mediator.
(6) Hakim Pemeriksa Perkara memberitahukan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Mediator melalui panitera pengganti.
(7) Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak menempuh Mediasi. " Mediasi n sertifikatnya "





Alur Prosedur Perkara Perdata


Profesi Likuidator dalam Likuidasi

      Advokat A2TP n Patners dapat melayani pemberakasan badan hukum yang ingin dilakukan likuidasi dengan mengedapankan efektivitas dan profesionalitas, kurator dan Likuidator yang merupakan anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia. Banyaknya perusahaan yang sudah tidak beraktivitas atau telah berakhirnya pendirian perusahaan berdasarkan akta pendirian perusahaan yang telah menentukan waktu berakhirnya perusahaan,  atau para pemenang saham bersepakat untuk melakukan likuidasi,  maka perlu adanya pemberasan likuidasi yang dilakukan oleh Likuidator.

Bahwa dalam mekanisme kerja seorang likuidator hampir sama tata caranya dengan Kurator,  yang membedakan hanyalah likuidator melakukan proses pemberesan hingga badan hukum tersebut telah bubar/tutup selamanya dan tidak lagi dalam catatan kementerian hukum dan ham serta kantor pajak.

Pentingnya badan hukum perusahaan yang sudah tidak beroperasi dilakukan likuidasi. Dimana petugas pajak karena dalam catatan banyak perusahaan yang berposisi dapat diistilahkan hidup segan mati tak mau,  artinya ada perusahaa tidak beroperasional tapi perusahaan tersebut tidak dilikuidasi oleh para pemegang sahamnya.

" Pengadilan Niaga solusi sengketa utang piutang "

Pada saat terjadi wanprestasi terhadap perjanjian utang piutang,  sekarang ini para kreditur lebih memilih penyelesaian melalui Pengadilan Niaga

Secara limitatip UU Kepailitan dalam Pasal 1 angka 6 memberikan  definisi utang yaitu:
"... Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor."

Lalu bagaimana cara mengajukan ke pengadilan Niaga,  maka Kreditor yang akan mengajukan permohonan Kepailitan dapat mengajukan ke Pengadilan Niaga dan wajib menunjuk seorang advokat dalam pengajuan permohonan tersebut.  Adapun Permohonan dapat diterima harus memenuhi persyaratan diataranya :
1. Harus adanya minimal 2(dua) Kreditor atau lebih
2. Utang telah Jatuh tempo dan dapat ditagih
3. Pembuktian sederhana

Sementara untuk perkara PKPU,  apabila diajukan oleh debitor maka dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan atau 20 hari dalam hal diajukan oleh kreditor,  Pengadilan Niaga mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus untuk bersama sama dengan debitor mengurus harta debitor. Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan,  Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk menetapkan atau menolak permohonan PKPU tetap berdasarkan persetujuan kreditor konkuren.










Legal Info :
  1.   News  
  2.   menkumham 
  3.   Telisik perkara



No comments:

Post a Comment